0

Latar Belakang, Kondisi, Sejarah dan Landasan Bimbingan Konseling

Posted by Unknown on 2/27/2015 11:09:00 PM in ,

--- Resume Kelompok 1 ---
Mata Kuliah Bmbingan dan Konseling

Atik Latifah (1200465) Pendidikan Matematika A 2012


Istilah Bimbingan dan Konseling sudah sangat populer dewasa ini, bahkan sangat penting peranannya dalam sistem pendidikan kita. Hal ini terbukti dengan telah dimasukkannya Bimbingan dan Konseling dalam kurikulum -bahkan menjadi ciri khas dari kurikulum SMP dan SMA/SMK- tahun 1975, 1984, 2004, 2006 dan 2013 di Indonesia.
Namun dalam prakteknya, bimbingan dan Konseling biasanya kurang diperhatikan oleh siswa dan sekolah. Padahal jika kita perhatikan esensinya, posisi BK justru bisa menjadi penguat untuk siswa. Bukan hanya sebagai pemadam kebakaran saat siswa menghadapi permasalahan. Kondisi yang menaruh BK dalam tempat ini berdampak signifikan dalam penerapan mata pelajaran dan pengaturannya di sekolah. Untuk lebih jelasnya, berikut akan dipaparkan mengenai:

Makna dan posisi serta urgensi  BK dalam praktek pendidikan

a.     Kondisi BK di sekolah (meluas dan melebarnya masalah siswa, masalah-masalah siswa internal,         petugas BK, sikap siswa terhadap BK,dll,)

Bimbingan Konseling seolah menjadi topik yang tidak seksi untuk dibicarakan. Padahal, kalau merujuk ke negara yang pendidikannya maju, seperti Amerika Serikat, Singapura, bahkan Malaysia, peran guru BK sangat diperhatikan. Beberapa minggu yang lalu seorang teman di Malaysia bercerita betapa berkembanganya ilmu BK di negeri itu. Lalu, kenapa di Indonesia isu tentang BK menjadi isu nomor 2, kalaupun diangkat, bukan menjadi isu nasional tetapi daerah. Gerakan yang terlihat malah dari daerah, bahkan dari sekolah-sekolah.
Isu BK yang tidak seksi ini mengakibatkan sekolah-sekolah tidak memiliki paradigma yang tunggal terhadap BK. Di bawah ini saya mencoba membangi sekolah ke dalam 5 kelompok, berkaitan dengan BK: 
Pertama, sekolah yang sadar betul pentingnya BK untuk membangun karakter siswa. Kesadaran ini mendorong sekolah ini menata sistem ke BK-an menjadi salah satu elemen penting sekolah. Untuk membangun sistim ke BK-an ini mereka melakukan studi banding, membangun fasilitas BK, memberikan waktu masuk kelas untuk guru BK, melibatkan tenaga BK dalam seluruh prose perkembangan siswa, menempatkan BK sebagai rekan guru bukan hanya sebagai pelengkap, mengirim guru-guru BK mengikuti seminar.
Kedua, sekolah yang sadar akan kedudukan BK dalam pembentukan pribadi siswa, tetapi tidak didukung oleh materi, tenaga dan yayasan (swasta) atau pemerintah (negeri). Keberadaan BK di sekolah ini antara ada dan tiada, hidup segan mati tak mau. Di sekolah kategori ini semua konsep ke BK-an hanya tinggal dalam angan-angan. Untuk membangun manajemen BK di sekolah ini butuh tenaga ekstra. Pendekatan yang dilakukanpun harus bervariasi. Ada pendekatan pragmatis, ada pendekatan structural.
Ketiga, Sekolah yang masih menerapkan manajemen BK jadul. Guru BK masih dianggap sebagai polisi sekolah, hanya menangani orang yang bermasalah. Sekolah ini cenderung tidak terbuka terhadap perkembangan ilmu BK dan tidak melihat fungsi BK dalam pembentukan pribadi siswa. Guru BK masih ditempatkan sebagai pelengkap dalam proses pendidikan anak, bukan sebagai rekan tenaga pengajar. Bahkan ironisnya, yang menjadi guru BK bukan lulusan Bimbingan dan Konseling. Sekolah ini anti perubahan.
Keempat, sekolah yang belum memiliki manajemen BK. Penyembanya, bisa karena belum ada tenaga, atau tidak ada yang tahu sehingga tidak ada yang memulau, atau bisa juga karena masalah financial, atau menganggap tidak perlu. Biasanya sekolah kategori ini terdapat di kecamatan atau sekolah anak tidak mampu.
Kondisi ini menjadi tantangan bagi Program Studi Bimbingan dan Konseling. Mampukan Prodi BK melihat ini menjadi peluang, menjadikan sekolah-sekolah in sebagai laboratorium bagi mahasiswa. Salah satu gagasan yang bias dicoba Prodi BK adalah membentuk satu uni formal menangani manajemen ke-BK-an di sekolah-sekolah yang belum ada BKnya. Unit formal ini bias diberi nama Unit Pendampingan Sekolah. Fungsi unit ini adalah melaklukan monitoring, training, dan pendampingan berkelanjutan sampai BK di sekolah itu terbentuk dan berfungsi dengan baik. Pembentukan unit ini akan memberi arti ganda kepada Prodi BK. Di satu sisi menjadi tempat mahasiswa berpraktek, disisi lain mengangkat citra BK. Mari kita wujudkan.

b.      Sejarah perkembangan BK (dalam dan luar negeri). Lihat uraian Muh. Surya dalam lampiran)


Sejarah dan latar belakang Bimbingan dan  Konseling Di Amerika Serikat

Di Amerika awal sejarah Bimbingan dimulai pada permulaan abad ke-20 dengan didirikannya suatu “Vocational Bureau” tahun 1908 oleh Frank Parsons, yang untuk selanjutnya dikenal dengan nama “The Father of Guidance” yang menekankan pentingnya setiap individu diberikan pertolongan agar mereka dapat mengenal atau memahami berbagai kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya dengan tujuan agar dapat dipergunakan secara inteligen dalam memilih pekerjaan yang tepat bagi dirinya. Awal perkembangan gerakan Bimbingan telah dilengkapi dengan didirikannya organisasi profesi National Vocational Guidance Association  (NVGA) tahun 1913.

Kemunculan Bimbingan dan Konseling Sekolah

Pekerjaan Jesse Davis, Eli Weaver, Frank  Parsons, dan sejumlah pelopor  lain menciptakan momentum untuk pengembangan suatu profesi  Bimbingan dan Konseling sekolah. Sepanjang tahun 1920, 1930, dan sampai tahun 1940, banyak peristiwa yang terjadi yang memberi daya dorong, kejelasan, dan arah terhadap munculnya profesi Bimbingan dan Konseling sekolah. Secara kebetulan, pengembangan profesi konseling sekolah ini,  berakar dengan ditemukannya gerakan bimbingan vokasional, sehingga menimbulkan  pertanyaan tentang focus profesi yang sempit hanya pada pengembangan vokasional.     

·         Sebelum Perang Dunia II
Setelah gerakan bimbingan vokasional dimulai tahun 1900, Perang Dunia I merupakan peristiwa utama yang memberikan dampak pada perkembangan profesi bimbingan dan konseling. Sepanjang perang dunia pertama, militer AS mulai mengadakan pelatihan dalam prosedur kelompok untuk menyaring dan menggolongkan orang yang wajib militer. Testing Intelegensi, yang dikembangkan permulaan dekade, adalah katalisator untuk gerakan ini. Tahun 1930 ditemukan teori Bimbingan dan Konseling yang pertama yang disebut Teori Sifat dan Faktor (Trait and Factor Theory), yang dikembangkan oleh E. G. Williamson di Universitas Minnesota. Penggunaan Program Vokasional Parsons’s sebagai batu loncatan, Williamson dan kawan-kawannya menjadi penganjur utama yang terkenal sebagai pendekatancounselor-centered  atau konselor direktif (directive or counselor-centered approach) pada konseling sekolah. Dalam bukunya How to Counsel Students, Williamson (1939) menulis konselor semestinya menetapkannya bahwa  “sudut pandang dengan terbatas, mencoba melalui penampilan untuk meringankan siswa”. Di dalam pendekatan langsung ini, konselor diharapkan untuk memberikan informasi dan mengumpulkan data untuk mempengaruhi dan memotivasi para siswa. 

·         Perang Dunia II dan Pengaruh Pemerintah
Ketika  Amerika Serikat sedang memasuki Perang Dunia II, pemerintah meminta bantuan dari konselor dan psikolog untuk membantu menyaring, memilih, dan pelatihan spesialis militer dan industri. Contoh lain dari pengaruh pemerintah dalam profesi konseling adalah Undang-Undang George-Barden Act tahun 1946. Perundang-undangan ini memberikan dana untuk pengembangan dan mendukung aktivitas bimbingan dan konseling di sekolah. 

Sejarah dan latar belakang Bimbingan dan  Konseling Di Indonesia

Kegiatan “Bimbingan”  pada hakikatnya telah berakar dalam seluruh kehidupan dan perjuangan bangsa Indonesia. Akan tetapi patut diakui bahwa bimbingan yang bersifat ilmiah dan profesional masih belum berkembang secara mantap atas dasar falsafah Pancasila. Berikut ini akan dibahas mengenai perkembangan usaha bimbingan dalam pendidikan di Indonesia sebelum kemerdekaan, dekade 40-an, dekade 50-an, dekade 60-an, dekade 70-an, dan dekade 80-an.

·         Sebelum Kemerdekaan
Masa sebelum kemerdekaan yaitu pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, kehidupan rakyat Indonesia berada dalam cengkeraman penjajah: Pendidikan diselenggarakan untuk kepentingan penjajah. Para siswa dididik untuk mengabdi untuk kepentingan penjajah. Dalam situasi seperti ini upaya bimbingan sudah tentu diarahkan bagi perwujudan tujuan pendidikan masa itu yaitu menghasilkan manusia pengabdi penjajah. Rakyat Indonesia yang cinta akan Nasionalisme dan kemerdekaan berusaha untuk memperjuangkan kemandirian bangsa Indonesia melalui pendidikan. Salah satu diantaranya adalah Taman Siswa yang dipelopori oleh K.H. Dewantara. Dengan falsafah dasarnya yang terkenal yaitu: “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani,” dari sudut pandangan bimbingan hal tersebut pada hakikatnya adalah dasar bagi pelaksanaan bimbingan. Dengan dasar itu siswa dibantu untuk mandiri melalui prinsip keteladanan, motivasi dan bimbingan.

·         Dekade 40-an: Perjuangan
Dekade 40-an bangsa Indonesia merupakan tonggak sejarah yang amat penting, karena pada decade inilah rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya yaitu 17 Agustus 1945. Kemerdekaan merupakan kulminasi perjuangan untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dan mandiri di tengah-tengah bangsa lain di dunia. Meskipun kemerdekaan telah diproklamasikan akan tetapi bangsa Indonesia masih harus berjuang keras untuk eksistensi dirinya. Melalui kegiatan pendidikan serba darurat maka pada saat itu diupayakan secara bertahan memecahkan masalah besar tadi antara lain melalui pemberantasan buta huruf. Tetapi yang lebih mendalam adalah mendidik bangsa Indonesia agar memahami dirinya sebagai bangsa yang merdeka: Sesuai dengan jiwa Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Hal ini pulalah yang menjadi focus utama dalam bimbingan pada saat itu.

·         Dekade 50-an: Perjuangan
Menjelang dekade 50-an pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia tercapai. Akan tetapi bangsa Indonesia masih harus menghadapi tantangan yang amat besar yaitu menstabilkan berbagai aspek kehidupan yang terkoyak-koyak selama penjajahan dan perjuangan kemerdekaan. Kegiatan bimbingan pada masa decade ini lebih banyak tersirat dalam berbagai kegiatan pendidikan. Upaya membantu siswa dalam mencapai prestasi lebih banyak dilakukan oleh para guru di kelas atau di luar kelas. Akan tetapi pada hakikatnya bimbingan telah tersirat dalam pendidikan dan benar-benar menghadapi tantangan dalam membantu siswa di sekolah agar dapat berprestasi meskipun dalam situasi yang amat darurat.

·         Dekade 60-an: Perintisan
Memasuki dekade 60-an politik kurang begitu menguntungkan dengan klimaksnya pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965. Akan tetapi, dalam decade ini pula lahir Orde Baru tahun 1966, yang kemudian meluruskan dan menegakkan, serta sudah mulai mantap dalam merintis kearah terwujudnya suatu system pendidikan nasional.
Keadaan di atas memberikan tantangan bagi keperluan layanan bimbingan dan konseling di sekolah sebagai salah satu kelengkapan sistem. Layanan bimbingan diperlukan tidak hanya sebagai sesuatu yang implisit tapi diperlukan sebagai suatu yang eksplisit. Di sinilah timbul tantangan untuk mulai merintis pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling yang berprogram dan terorganisasi dengan baik. Beberapa upaya perintisan yang telah dilakukan, yaitu:
1.      Anjuran dari para pengelola, agar sekolah-sekolah melaksanakan bimbingan dan konseling
2.  Dibukanya jurusan bimbingan dan konseling pada beberapa IKIP dan masuknya mata kuliah bimbingan dan konseling di IKIP
3.   Penyelenggaraan penataran bagi para petugas atau calon petugas bimbingan dan konseling di sekolah.
4.       Gerakan memasyarakatkan perlunya bimbingan dan konseling di sekolah
5.       Publikasi kepustakaan yang berkaitan dengan bimbingan dan konseling.

·         Dekade 70-an: Penataan
Setelah dirintis dalam dekade 60-an, bimbingan dicoba penataannya dalam dekade 70-an. Dalam dekade ini bimbingan diupayakan aktualisasinya melalui penataan legalitas sistem; konsep, dan pelaksanaannya.[2] Beberapa upaya kegiatan penataan bimbingan selama decade ini, yaitu:
1.    Pemantapan layanan bimbingan dan konseling di sekolah berdasarkan Kurikulum 1975.  Karena pada dasarnya Kurikulum 1975/1976 merupakan legalitas layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
2.    Kegiatan penataran bagi berbagai pihak yang terlibat: dalam bimbingan dan konseling mulai dari tingkat nasional sampai ke daerah.
3.      Pemantapan layanan bimbingan dan konseling untuk menunjang inovasi di PPSP
4.   Adanya program darurat dalam upaya pengadaan tenaga bimbingan dan konseling antara lain PGSLP yang disempurnakan.
5.      Pemantapan kurikulum jurusan bimbingan dan konseling pada LPTK
6.   Mulai dibuka program Pasca Sarjana bidang, bimbingan dan konseling (di IKIP Bandung tahun 1977)
7.      Perintisan pelaksanaan  layanan bimbingan dan konseling di perguruan tinggi
8.   Kelahiran IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia) di Malang bulan Desember 1975, sebagai wadah  para petugas bimbingan.

·         Dekade 80-an: Pemantapan
Setelah melalui penataan dalam decade 70-an, maka dalam decade 80-an ini bimbingan diupayakan agar mantap. Pemantapan terutama diusahakan untuk menuju kepada perwujudan bimbingan yang profesional.  Dengan tuntutan pembangunan dalam decade 80-an, pendidikan perlu lebih dikelola secara professional. Demikian pula kaitannya dengan layanan bimbingan, maka dalam decade ini bimbingan perlu dimantapkan secara profesional dan proporsional. Beberapa upaya yang dilaksanakan, yaitu:
1.       Upaya penerangan bimbingan terpadu dalam pengelolaan dan layanan
2.       Penekanan layanan bimbingan karier dalam keseluruhan layanan bimbingan baik di sekolah maupun di luar sekolah
3.       Penyempurnaan system penataran para petugas di lapangan
4.       Penyempurnaan kurikulum jiwa bimbingan konseling yang lebih mengarah kepada pencapaian kompetensi profesional.

Menyongsong Era Lepas Landas

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang periodisasi perkembangan gerakan bimbingan dan konseling, di Indonesia  ada melalui   lima periode, yaitu periode prawancara, pengenalan, permasyarakatan, konsolidasi, dan tinggal landas (Prayitno, 2003).

·         Periode I dan II: (Sebelum 1960 sampai 1970-an) Prawacana dan Pengenalan
Pada periode prawacana (periode I) pembicaraan tentang konseling (istilah yang dipakai semula bimbingan dan penyuluhan, disingkat BP) telah dimulai, terutama oleh para pendidik pernah mempelajari di luar negeri. Periode awal ini berpuncak pada dibukanya jurusan Bimbingan dan Penyuluhan (BP) pada tahun 1963 (periode II) di IKIP Bandung (sekarang UPI). Pembukaan jurusan ini menandai dimulainya periode kedua yang secara langsung memperkenalkan pelayanan BP kepada masyarakat akademik dan masyarakat pendidik serta membina tenaga untuk melaksanakannya.

·         Periode III (1970 sampai 1990-an) Pemasyarakatan
Puncak dari periode kedua, dan sekaligus sebagai awal dari periode ketiga ialah diberlakukannya Kurikulum 1975 (periode III) untuk Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Kurikulum baru ini secara resmi mengintegrasikan ke dalamnya pelayanan BP untuk siswa. Seiring dengan menyatunya BP ke sekolah, terbentuk pula organisasi profesi BP dengan nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) pada tahun 1975 (periode III). Dalam pemberlakuan Kurikulum 1984 (kira-kira 10 tahun setelah kurikulum 1975) pelayanan BP difokuskan pada bidang bimbingan karier(periode III) melalui paket-paket yang disusun secara khusus. Dalam kaitan itu berkembang pemahaman yang mengindentikkan bimbingan karier dengan bimbingan penyuluhan, sehingga pada waktu itu ada istilah BK/BP.

·         Periode IV: Konsolidasi (1990-2000)
Situasi yang kurang menggembirakan pada akhir 1980- awal 1990-an itu dicoba untuk diatas. IPBI sebagai organisasi profesi yang ikut bertanggung jawab atas kebenaran profesi konseling dan mutu pelayanannya, berusaha keras untuk mengubah kebijakan “BP oleh semua guru” itu. 

Keadaan seperti itu harus direformasikan. Upaya ini menandai mulainya periode keempat, yaitu konsolidasi. Dalam periode ini sangatlah diharapkan seluruh perangkat profesi, baik segi keilmuannya, para pelaksana, maupun pelaksanaannya di lapangan dikonsolidasi sehingga menjadi satu kesatuan sosok profesi yang utuh dan berwibawa. Sejumlah hal dapat dicatat sebagai butir-butir yang menandai periode ini (periode IV), yaitu:
1.      Diubahnya secara resmi kata penyuluhan menjadi konseling, istilah yang dipakai sekarang adalah: bimbingan dan konseling, disingkat BK.
2.      Pelayanan BK di sekolah hanya dilaksanakan oleh guru pembimbing yang secara khusus ditugasi untuk itu tidak lagi oleh sembarang guru yang dapat ditugasi sebagai guru pembimbing.
3.      Mulai diselenggarakan penataran (nasional dan daerah) untuk guru-guru pembimbing
4.      Mulai adanya formasi untuk pengangkatan menjadi guru pembimbing
5.      Pola pelayanan BK di sekolah “dikemas” dalam “BK pola-17”.
6.      Dalam bidang kepengawasan sekolah dibentuk kepengawasan bidang BK.


c.    Landasan Psikologis (Perkembangan fisik, mental, dll)

Motif
     
      Pengertian Motif
     J.P. Chaplin  mengemukakan, bahwa motif itu adalah “ A state of tension within the in which arouses, maintains and direct behavior toward a goal.” (Suatu kekuatan dalam diri individu yang melahirkan, memelihara dan mengarahkan perilaku kepada suatu tujuan. Sigmun Freud berpendapat bahwa motif merupakan energi dasar (instink) yang mendorong tingkah laku individu.
      Pengelompokan Motif
1    Motif Primer > disebut juga motif dasar (basic motive) atau biological drives (karena berasal dari kebutuhan-kebutuhan biologis). Motif ini menunjukkan kepada motif yang tidak dipelajari (unlearned motive). Dengan kata lain motif ini bersifat naluriah (instinktif). Motif ini meliputi dorongan fisiologis, dorongan umum dan dorongan darurat.
     Motif Sekunder > Motif ini seringkali disebut juga motif yang disyaratkan secara sosial, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dengan sesama manusia, sehingga motif ini disebut juga motif sosial. Motif sekunder (sosial) ini merupakan motif yang dipelajari (learned motive), dalam arti motif ini berkembang karena pengalaman. Dalam perkembangannya motif ini dipengaruhi oleh tingkat peradaban, adat istiadat, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tempat individu itu berada.
      Pengukuran Motif
Motif bukan merupakan benda yang secara langsung dapat diamati, tetapi merupakan suatu kekuatan dalam diri individu yang bersifat abstrak. Oleh karena itu, dalam mengukurnya, yang dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi beberapa indikator, yaitu sebagai berikut:
1. Durasi kegiatannya (berapa lama kemampuan menggunakan waktunya untuk melakukan kegiatan).
2.  Frekuensi kegiatannya (sering tidaknya kegiatan itu dilakukan dalam periode waktu tertentu).
3.  Persistensinya (ketetapan atau kelekatannya) pada tujuan kegiatan yang dilakukan.
4. Devosi (pengabdian) dan pengorbanan (uang, tenaga, pikiran, bahkan jiwanya) untuk mencapai tujuan.
5.  Ketabahan, keuletan, dan kemauannya dalam menghadapi rintangan dan kesulitan untuk mencapai tujuan.
6.  Tingkatan aspirasinya (maksud, rencana, cita-citanya) yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan.
7.   Tingkat kualifikasi dari prestasi, produk atau output yang dicapai dari kegiatannya (berapa banyak, memadai atau tidak, memuaskan atau tidak).
8.    Arah sikapnya terhadap sasaran kegiatannya (like or dislike, positif atau negatif).

Konflik dan Frustasi


Konflik
Dalam kehidupan sehari-hari, kadang-kadang individu menghadapi beberapa macam motif yang saling bertentangan. Dengan demikian individu berada dalam keadaan konflik psikis, yaitu suatu pertentangan batin, suatu kebimbangan, suatu keragu-raguan, motif mana yang akan diambilnya. Motif-motif yang dihadapi individu itu, mungkin semuanya positif atau mungkin negatif, dan mungkin juga campuran antara motif positif dengan negatif. Sehubungan dengan hal tersebut maka konflik itu dapat dibedakan kedalam 3 jenis yaitu sebagai berikut:
1.   Konflik mendekat-mendekat, yaitu kondisi psikis yang dialami individu, karena menghadapi 2 motif positif yang sama kuat. Motif positif ini maksudnya adalah motif yang disenangi atau yang diinginkan individu. Contohnya seorang mahasiswa yang harus memilih antara mengikuti ujian akhir semester dengan melaksanakan tugas dari kantortempat dia bekerja.
2.     Konflik menjauh-menjauh, yaitu kondisi psikis yang dialami individu, karena menghadapi 2 motif negatif yang sama kuat. Motif negatif ini adalah motif yang tidak disenangi individu. Contohnya seorang terdakwa yang harus memilih bentuk hukuman yang dijatuhkan kepadanya, yaitu antara masuk penjara atau membayar uang yang jumlahnya tidak mungkin terjangkau.
3.     Konflik mendekat menjauh adalah kondisi psikis yang dialami individu, karena menghadapi satu situasi mengandung motif positif dan negatif sama kuat. Contohnya seorang pelajar putridari sebuah SMA menghadapi 2 masalah yang sama kuat. Salah satu dari masalah tersebut harus dipilih menjadi suatu keputusan. Kedua masalah yang harus dipilih itu adalah memakai jilbab atau dikeluarkan dari sekolah. Memakai jilbab merupakan motif positif bagi siswi tersebut (karena keinginannya), sedangkan dikeluarkan dari sekolah merupakan motif negatif (karena siswi tersebut tidak menginginkannya).
Frustasi
Apabila seorang siswa atau mahasiswa melakukan suatu kegiatan, umpamanya mengikuti ujian akhir semester,dan ternyata lulus (tercapainya tujuan yang diharapkan), maka dia akan merasa puas dan bahagia. Tetapi apabila ternyata kegiatannya itu tidak mencapai tujuan yang diharapkan (ujian akhirnya tidak lulus), maka ia akan merasa kecewa. Kegagalan individu dalam mencapai keinginan akan menyebabkan kekecewaan pada diri individu tersebut. Jika kekecewaan tersebut berulang-ulang, dan mengganggu keseimbangan psikisnya, baik emosi maupun tindakannya, berarti individu tersebut sudah berada dalam situasi frustasi.

Sikap

Konselor perlu memahami tentang konsep sikap karena sikap sangat mewarnai perilaku individu atau dapat dikatakan bahwa perilaku individu merupakan perwujudan dari sikapnya. Oleh karena itu mengubah tingkah laku individu terlebih dahulu harus diubah sikapnya. Dalam hal ini konselor perlu menyadari bahwa perubahan sikap (dari negatif menjadi positif) merupakan salah satu tujuan dari bimbingan dan konseling. Turstone berpendapat bahwa sikap merupakan suatu tingkatan afeksi baik bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis.

Unsur (Komponen) Sikap      
1.      Unsur kognisi (cognition)
Unsur ini terddiri atas keyakinan atau pemahaman individu terhadap objek-objek tertentu. Misalnya, sikap kita terhadap perjudian, minuman keras, dan sebagainya. Kita memahami dan meyakini, bahwa perjudian dan minuman keras itu hukumnya haram.
2.      Unsur Afeksi (feeling/ perasaan)
Unsur ini menunjukkan perasaan yang menyertai sikap idividu terhadap suatu objek. Unsur ini bisa bersifat positif (menyenangi) dan negatif (tidak menyenangi). Kita sebagai orang Islam tidak menyenangi perjudian atau minuman keras, karena kita tahu hukumnya haram.
3.      Unsur kecenderungan bertindak (action tendendy)
Unsur ini meliputi seluruh kesediaan individu untuk bertindak/mereaksi terhadap objek tertentu. Bentuk dari kecenderungan bertindak bertindak ini sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur sebelumnya. Misalnya, seorang muslim yang sudah meyakini bahwa judi itu hukumnya haram, dia akan membenci judi tersebut dan dia akan cenderung menjauhinya.


d.  Landasan Sosiologis (sosial budaya), perkembangan kehidupan masyarakat serta tuntuttannya terhadap pendidikan dan hasil pendidikan

Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu: (1) paham individualisme, (2) paham kolektivisme, (3) paham integralistik.
Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. 
Dampak individualisme menimbulkan cara pandang yang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri,  antara anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat. 
Paham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya.
Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan masyarakat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia tidak secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi dan juga merupakan relasi. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, dan (4) selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang

e.       Landasan Pedagogis, masalah rerevansi, metoda dan lain dengan kebutuhan anak didik

Pendidikan itu merupakan salah satu lembaga sosial yang universal dan berfungsi sebagai sarana reproduksi sosial ( Budi Santoso, 1992)
1.  Pendidikan sebagai upaya pengembangan Individu: Bimbingan merupakan bentuk upaya pendidikan.
Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Seorang bagi manusia hanya akan dapat menjadi manusia sesuai dengan tuntutan budaya hanya melalui pendidikan. Tanpa pendidikan, bagi manusia yang telah lahir itu tidak akan mampu memperkembangkan dimensi keindividualannya, kesosialisasinya, kesosilaanya dan keberagamaanya.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menetapkan pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
2.   Pendidikan sebagai inti Proses Bimbingan Konseling.
Bimbingan dan konseling mengembangkan proses belajar yang dijalani oleh klien-kliennya. Kesadaran ini telah tampil sejak pengembangan gerakan Bimbingan dan Konseling secara meluas di Amerika Serikat . pada tahun 1953, Gistod telah menegaskan Bahwa Bimbingan dan Konseling adalah proses yang berorientasi pada belajar……, belajar untuk memahami lebih jauh tentang diri sendiri, belajar untuk mengembangkan dan merupakan secara efektif berbagai pemahaman.. (dalam Belkin, 1975). Lebih jauh, Nugent (1981) mengemukakan bahwa dalam konseling klien mempelajari ketrampilan dalam pengambilan keputusan. Pemecahan masalah, tingkah laku, tindakan, serta sikap-sikap baru . Dengan belajar itulah klien memperoleh berbagai hal yang baru bagi dirinya; dengan memperoleh hal-hal baru itulah klien berkembang.
3.   Pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan Bimbingan tujuan dan konseling
Tujuan Bimbingan dan Konseling disamping memperkuat tujuan-tujuan pendidikan, juga menunjang proses pendidikan pada umumnya. Hal itu dapat dimengerti karena program-program bimbingan dan konseling meliputi aspek-aspek tugas perkembangan individu, khususnya yang menyangkut kawasan kematangan pendidikan karier, Kematangan personal dan emosional, serta kematangan sosial, semuanya untuk peserta didik pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SLTP) dan pendidikan menengah (Borders dan Drury, 1992). Hasil-hasil bimbingan dan konseling pada kawasan itu menunjang keberhasilan pendidikan pada umumnya.


f.     Landasan Agama


     Dalam landasan religius BK diperlukan penekanan pada 3 hal pokok: Keyakinan bahwa manusia dan seluruh alam adalah mahluk Tuhan, sikap yang mendorong perkembangan dan perikehidupan manusia berjalan kearah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama serta upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya serta kemasyarakatan yang sesuai dengan kaidah-kaidah agama untuk membentuk perkembangan dan pemecahan masalah individu
Landasan Agama berkenaan dengan :

  1.  Manusia sebagai Mahluk Tuhan
Manusia adalah mahluk Tuhan yang memiliki sisi-sisi kemanusiaan. Sisi-sisi kemanusiaan tersebut tdiak boleh dibiarkan agar tidak mengarah pada hal-hal negatif. Perlu adanya bimbingan yang akan mengarahkan sisi-sisi kemanusiaan tersebut pada hal-hal positif.
      2.      Sikap Keberagamaan
Agama yang menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat menjadi isi dari sikap keberagamaan. Sikap keberagamaan tersebut pertama difokuskan pada agama itu sendiri, agama harus dipandang sebagai pedoman penting dalam hidup, nilai-nilainya harus diresapi dan diamalkan. Kedua, menyikapi peningkatan iptek sebagai upaya lanjut dari penyeimbang kehidupan dunia dan akhirat.
      3.      Peranan Agama
Pemanfaatan unsur-unsur agama hendaknya dilakukan secara wajar, tidak dipaksakan dan tepat menempatkan klien sebagai seorang yang bebas dan berhak mengambil keputusan sendiri sehingga agama dapat berperan positif dalam konseling yang dilakukan agama sebagai pedoman hidup ia memiliki fungsi :
a. Memelihara fitrah
b. Memelihara jiwa
c. Memelihara akal
d. Memelihara keturunan

g.     Landasan Perkembangan IPTEK, diuraikan kaitan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap perlunya manusia unggul

Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, inventory atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
Sejak awal dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003).
Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan dan konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk penelitian.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis komputer, sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling pendidikan. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.
Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, Prayitno (2003) memperluas landasan bimbingan dan konseling dengan menambahkan landasan paedagogis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.
Landasan paedagogis dalam layanan bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi, yaitu: (a) pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling; dan (c) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling.
Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu : (a) manusia sebagai makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama; dan (c) upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.
Landasan yuridis-formal berkenaan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari Undang-Undang Dasar, Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri serta berbagai aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Indonesia.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Sebagai sebuah layanan profesional, bimbingan dan konseling harus dibangun di atas landasan yang kokoh. Landasan bimbingan dan konseling yang kokoh merupakan tumpuan untuk terciptanya layanan bimbingan dan konseling yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan.
Beberapa landasan bimbingan dan konseling meliputi : (a) landasan filosofis, (b) landasan psikologis; (c) landasan sosial-budaya; dan (d) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Landasan filosofis terutama berkenaan dengan upaya memahami hakikat manusia, dikaitkan dengan proses layanan bimbingan dan konseling.
Landasan psikologis berhubungan dengan pemahaman tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling, meliputi : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan; (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (d) kepribadian.
Landasan sosial budaya berkenaan dengan aspek sosial-budaya sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu, yang perlu dipertimbangakan dalam layanan bimbingan dan konseling, termasuk di dalamnya mempertimbangkan tentang keragaman budaya.
Landasan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan layanan bimbingan dan konseling sebagai kegiatan ilimiah, yang harus senantiasa mengikuti laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat.
Layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, di samping berlandaskan pada keempat aspek tersebut di atas, kiranya perlu memperhatikan pula landasan pedagodis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.

Rujukan Pustaka

 Fauzi, Imron. 2008. Landasan Bimbingan dan Konseling. [Online] https://imronfauzi.wordpress.com/2008/06/12/14. Tersedia 26 Februari 2015.
       Nurihsan, Juntika.,dkk. 2003.”Landasan Bimbingan dan Konseling”. Jakarta: Rosda.
 Sudrajat, Akhmad. 2008. Landasan Bimbingan dan Konseling. [Online] https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/25/landasan-bimbingan-dan-konseling/. Tersedia 26 Februari 2015.
       Sugianto, Akhmad. 2013. Landasan Sosiologis Pendidikan. Universitas Negeri Malang. [Online] http://akhmad-sugianto.blogspot.com/2013/09/landasan-sosiologis-pendidikan.html. Tersedia 27 Februari 2015.
   Yafrianti, Fitri. 2014. Sejarah dan Latar Belakang Bimbingan dan Konseling. [Online] http://sakura-ilmi.blogspot.com/2014/07/sejarah-dan-latar-belakang-bimbingan.html. Tersedia 27 Februari 2015.
       Yusuf, Syamsu dan Nurishan, A. Juntika, 2006, Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung : Remaja Rosdakarya





0 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 Latifah Ata All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.