0
Urgensitas Peranan Media Massa bagi Setiap Ideologi
Oleh: Tri Fani Arrohmah
Debut para pasangan capres-cawapres periode 2014-2019, semakin menghangat melalui media massa. Terlebih, dari pasangan capres-cawapres yang ada, tiga diantaranya mernguasai media massa Indonesia. Sebut saja ARB pemilik Bakrie Group dengan TV One, ANTV dan Viva news di dalamnya. Hari Tanoe, pemilik MNC Group, tidak hanya memiliki tiga stasiun televisi, yakni MNC TV, RCTI, dan Global TV, namun juga membawahi stasiun Radio Trijaya, majalah ekonomi dan bisnis Trust, serta tabloid remaja Genie. Dan yang terakhir, Surya Paloh, pemimpin Media Group, memiliki harian Media Indonesia, Lampung Pos, dan stasiun Metro tv. Hangatnya kampanye melalui media massa ini, bahkan sampai di luar batasan yang diatur UU, tiga partai dengan pemilik media massa di dalamnya (Golkar, Nasdem, dan Hanura), serta partai sang penguasa (Demokrat) dinyatakan telah melanggar aturan iklan kampanye di stasiun televisi oleh KPI. (Detik.news, 28/03/2014)
Keberadaan kampanye melalui media massa, salah satuya melalui media televisi, adalah konsekuensi logis dari besarnya keterjangkauan masyarakat Indonesia terhadap media massa terutama media televisi. Pada survey tahun 2012 terhadap penduduk berumur 10 tahun ke atas, ada 18.57% yang Mendengar Radio, 91.68% yang Menonton Televisi, 17.66% yang Membaca Surat Kabar/Majalah, dan 24.99% yang Melakukan Olahraga. (www.bps.go.id)
Pengertian Media Massa dan Peranannya
Media massa merupakan komponen terpenting dalam terjadinya komunikasi massa. Menurut Denis McQuil (2000), media massa adalah media yang mampu menjangkau massa dalam jumlah besar dan luas (universuty of reach), bersifat publik dan mampu memberikan popularitas kepada siapa saja yang muncul di media massa. Karakteristik media massa tersebut memberikan konsekuensi bagi kehidupan politik dan budaya masyarakat kontemporer dewasa ini.
Dari perspektif budaya, media massa telah menjadi acuan utama untuk menentukan definisi-definisi terhadap suatu perkara dan media massa memberikan gambaran atas realitas sosial. (Morissan, 2010)
Secara perlahan namun pasti, media massa membentuk pandangan pemirsanya terhadap seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari. (Gamble dalam Communication Works 7th Edition)
Adapun Steven M. Chafree (Wilhoit & Harold, 1980: 78) berpendapat seperti yang dikutip oleh Jalaludin Rahmat, bahwa ada empat efek dari komunikasi massa, yaitu efek kehadiran media massa, efek kognitif komunikasi massa, efek afektif komunikasi massa, dan efek behavioral komunikasi massa (Jalaluddin, 2007: 219-239).
a. Efek kehadiran media massa
“The medium is the message”, pendapat McLuhan tersebut menjelaskan bahwa bentuk media saja sudah mempengaruhi kita. Dia berpendapat bahwa media adalah perluasan dari alat indra manusia; telepon adalah perluasan dari telinga dan teevisi adalah perluasan dari mata. Ada beberapa efek dari kehadiran media massa di masyarakat, seperti efek sosial berupa kehadiran televisi meningkatkan status sosial pemiliknya. Lalu kehadiran media massa juga menimbulkan penjadwalan kembali kegiatan sehari-hari. Scramm, Lyle, dan Parker (1961) menunjukkan dengan cermat bahwa kehadiran televisi telah mengurangi waktu bermain, tidur, membaca, dan menonton film pada sebuah kota di Amerika.
b. Efek kognitif komunikasi massa
Efek kognitif komunikasi massa berkaitan erat dengan pembentukan dan perubahan citra, citra terbentuk berdasarkan informasi yang kita terima. Media massa bekerja untuk memberikan informasi. Untuk khalayak, informasi tersebut dapat membentuk, mempertahankan, atau meredefinisikan citra. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi. Lazarfeld dan Merton (1948) membicarakan fungsi media dalam memberikan status (status conferral). Karena namanya, gambarnya, atau kegiatannya dimuat oleh media, maka orang, organisasi, atau lembaga mendadak mendapat reputasi yang tinggi.
c. Efek afektif komunikasi massa
Media massa mempengaruhi pembentukan dan perubahan sifat. Apabila dilihat dari segi afektif, pengaruh media massa dapat disimpulkan pada empat prinsip umum.
1. Pengaruh komunikasi massa diantarai oleh faktor-faktor seperti predisposisi personal, prosees selektif, keanggotaan kelompok.
2. Komunikasi massa biasanya berfungsi memperkokoh sikap dan pendapat yang ada, walaupun kadang-kadang berfungsi sebagai agen perubah (agent of change).
3. Bila komunikasi massa menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada intensintas sikap lebih umum terjadi daripada perubahan seluruh sikap dari satu sisi masalah ke sisi yang lain.
4. Komunikasi massa cukup efektif dalam mengubah sikap pada bidang-bidang dimana pendapat orang lemah, misalnya pada iklan komersial.
d. Efek behavioral komunikasi massa
Bandura menjelaskan melalui teori belajar sosial, bahwa kita belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modelling). Jadi menurut teori tersebut orang cenderung meniru perilaku yang diamatinya. Efek perilaku yang sering ditimbulkan adalah efek komunikasi massa pada perilaku sosial yang diterima (efek proporsional behavioral) dan pada perilaku agresif.
Sedangkan menurut David Giles dalam bukunya “Media Psychology” ada tiga dampak dari komunikasi massa melalui media, yaitu:
a. Imitation
Penonton suka meniru apa yang mereka lihat di TV atau media-media lainnya. Hal ini bisa terjadi terutama pada anak-anak dan remaja.
b. Excitation
Tayangan-tayangan di televisi menimbulkan rangsangan terhadap pemirsanya. Contohnya seperti program yang menayangkan hal-hal yang mengandung unsur pornografi.
c. Desensititation
Tayangan dengan isi yang sama dan ditonton secara terus-menerus akan mempengaruhi persepsi dan pola pikir penontonnya terhadap hal yang terdapat atau isi dalam tayangan tersebut.
Dari definisi dan peran di atas, maka keberadaan media massa sangat erat kaitannya dengan pembentukan opini masyarakat.
Media Massa dalam Bingkai Ideologi Kapitalisime-Demokrasi vs Ideologi Islam
David Croteau dalam bukunya Media Society (2000:161) menyatakan:
“Virtually all forms of mass media—radio, television, movies, music, and the Internet—are standard targets, attacked by politicians from different political perspectives who have little doubt that the media are ideological, selling certain messages and worldviews. Given that these kinds of media criticism are often well received, there is good reason to believe that large numbers of the public also perceive the media as purveyors of ideology—even if they don’t use the term. Media sell both products and ideas, both personalities and worldviews; the notion that mass media products and cultural values are fundamentally intertwined has gained broad public acceptance.”
“Demikianlah gambaran betapa kuat pengaruh ideologi entah yang diwarnai keyakinan agama atau apapun namanya mewarnai masing-masing berita” tulis H. Karomani dalam jurnalnya yang berjudul Pengaruh Ideologi terhadap Wacana Berita dalam Media Massa tahun 2004.
Ideologi, visi, dan misi amat sangat menentukan konten bahkan letak berita yang disajikan media massa sebagaimana yang dijelaskan oleh Adian Husaini dalam bukunya, Penyesatan Opini, 2002.
Media massa dalam Ideologi Kapitalisme-Demokrasi
Dalam media massa berbasis ideologi kapitalisme-demokrasi, maka terdapat dua hal besar yang mereka sajikan di tengah masyarakat. Pertama, arah opini yang akan memperkuat dan mempertahankan ideologi mereka di benak masyarakat, dan yang kedua adalah sajian yang akan memperkaya dan menaikkan rating mereka.
Ideologi kapitalisme merupakan ideologi yang memperkaya si pemilik modal. Di negeri asalnya, Amerika Serikat, jaringan media massa terutama jaringan televisi, dimiliki sejumlah perusahaan terbesar di dunia. NBC oleh GE, CBS oleh Viacom, ABC oleh Disney, FOX oleh Rupert Murdoch’s News Corporation, dan CNN oleh Time Warner. Yang mana anggota direktur mereka juga menjadi anggota direksi perusahaan pembuat senjata dan perusahaan lain di seluruh dunia, misalnya, Boeing, Coca-cola, Texaco, Chevron, EDS, Lucent, Daimieer-Chrystler Citigroup, Xerox, Philip Morrish, Worldcom, JP Morgan Chase, Rockwell Automation, dan Honeywell. (Andreas, 2004:147)
Kesemua media massa di atas adalah pendukung loyal bagi para pemilik modal. Terutama dalam menciptakan opini publik demi terwujudnya dukungan terhadap invahasi-invasi yang mereka lakukan atas nama “menjaga perdamaian dunia”, yang sejatinya, merupakan imperialisme dalam rangka mengeruk kekayaan demi memuaskan nafsu mereka. Media massa di atas jualah yang berfungsi untuk membendung opini yang akan membangkitkan ideologi lain yang mampu menggeser ideologi mereka, terutama ideologi Islam. Masih ingat di benak kita bagaimana pemberitaan tragedi 9 September menjadi headline news di setiap media massa yang dimiliki para pemodal tersebut secara bersamaan. Banyak sekali kejanggalan dalam pemberitaannya. Seperti BBC World News, yang telah melaporkan bahwa gedung WTC 7 rubuh 25 menit sebelum gedung tersebut benar-benar rubuh. Apakah Tuhan membocorkan informasi mengenai hal tersebut? BBC pasti telah diinformasikan sebelumnya. (Jerry D. Gray,2011:72)
Tak jauh beda, sesaat setelah pemberitaan penerapan sistem sanksi Islam oleh Sultan Brunei Darussalam, Kompas dan Viva News (edisi 07 Mei 2014) segera memberitakan mengenai pengakuan mantan gundik Sultan yang pernah mabuk bersamanya dan memiliki selir seorang penari telanjang. Pemberitaan tersebut akan menggiring publik untuk menyetujui bahwa tidak penting menerapkan syariat Islam dalam bentuk UU melainkan yang penting adalah kualitas pemimpinnya.
Adapun mengenai fun, food, and fashion, mereka blow up melalui media massa untuk menciptakan lifestyle ala mereka. Dan lagi, itu tak bisa dipisahkan dari kepentingan para pemilik modal, yang mengeruk keuntungan yang besar dari tertancapnya faham-faham hedon, konsumtif, permisif, dan yang terpenting adalah faham sekuler di benak-benak manusia, terlebih di benak kaum muslim yang mereka jadikan sasaran utama.
Dalam menjalankan imperialismenya—baik dalam bentuk klasik (fisik) maupun modern (pemikiran), negara imperialis harus memastikan media massa di negeri-negeri sasarannya menyiarkan hal yang sama, yakni apa-apa yang akan memperkuat ideologi mereka. Pemastian ini salah satunya dilakukan dengan dibentuknya sebuah kelompok koordinasi dari organisasi-organisasi media berita nasional maupun internasional yang bernama World Press Freedom Committee (WPFC) yang menjadi salah satu badan penasehat UNESCO. Sesuai dengan namanya, WPFC ini fokus terhadap pemastian kebebasan pers yang menjadikan pernyataan Universal Declaration of Human Rights: “Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers”, sebagai landasan filosofis paling utama. Adapun situs resmi WPFC menuliskan mengenai program-program yang mereka lakukan sebagai berikut.
· Maintaining front line for press freedom at the United Nations, UNESCO and the Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE);
· Monitoring of media-related issues under discussion at inter-governmental bodies;
· Coordination of actions and policies of free-press organizations;
· Advocacy of free-press principles;
· Presentation of the annual Andersen-Ottaway Lecture, focusing on a current issue of importance to press freedom;
· A global campaign to eliminate “insult laws” used by public authorities against journalists and media scrutinizing the behavior and or policies of government officials;
· Administration of a Fund Against Censorship providing legal assistance to journalists who are prosecuted for their work;
· Implementation of joint activities for a global Coordinating Committee of Press Freedom Organizations.
Dari program-program di atas, maka jelaslah bahwa WPFC sendiri menjadi pengatur pers paling utama bagi ke-29 negara anggotanya, termasuk Indonesia. Namun, alasan “kebebasan pers” yang menjadi alat bagi mereka memonitoring keberlangsungan media massa di negara lainnya, adalah kebebasan dengan standar ganda. Sebagaimana standar kebebasan dalam HAM yang senantiasa mereka gembar-gemborkan. Hal itu bisa dilihat dari track record perjuangan mereka, yang mereka cantumkan sendiri dalam situs resminya, http://www.wpfc.org/index.php?q=node/44. dan sangat jelas apa yang menjadi arah juang mereka, yakni kebebasan pers dalam ruang demokrasi. Dengan cara ini, negara imperialis akan mudah menjajakan ide mereka seperti demokrasi—yang sejatinya merupakan alat penjajahan mereka—dengan begitu “manis”.
Media massa dalam Ideologi Islam
Tak berbeda dengan ideologi kapitalisme, ideologi—lebih tepatnya mabda—Islam pun memberikan perhatian yang cukup besar terhadap media massa. Media massa merupakan media komunikasi massal yang berfungsi dalam menciptakan sebuah opini publik yang kemudian akan menjadi opini umum. Pembentukan opini umum adalah hal yang tidak bisa disepelekan dalam sistem Islam. Maka wajar, bila dalam struktur Khilafah, terdapat departemen yang khusus untuk melayani mabda Islam (khidmat al-mabda’ al-islâmi) baik di dalam maupun di luar negeri (Sya’rawi, 1992: 140 dalam majalah Al-wa’ie 2008). Di dalam negeri, media massa berfungsi untuk membangun masyarakat islami yang kokoh. Di luar negeri, ia berfungsi untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai, untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam sekaligus membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia. (Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilâfah, pasal 103).
Dengan fungsi strategis ini, maka Hizbut Tahrir, sebuah kelompok yang senantiasa memperjuangkan penerapan syariah Islam yang kaffah dalam naungan khilafah, telah memberikan fokus perhatian salah satuya bagi media massa. Dalam kitab ajhizah daulah al khilafah yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, dalam Negara Khilafah yang nanti akan berdiri, harus terdapat departemen penerangan yang disebut dengan da’irah al-i’lam. Dimana departemen ini telah diatur keberadaannya dalam RUUD Khilafah yang telah disusun oleh salah seorang ulama Hizbut Tahrir Palestina, Syaikh Ziyad Ghazzal dalam kitabnya Masyrû’ Qânûn Wasâ’il al-I’lâm fî Dawlah al-Khilâfah (RUU Media Massa dalam Negara Khilafah) (2003). (Al-wa’ie, 2008)
Dalam kitab Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah (RUUD Negara Khilafah) edisi revisi mutakhir (mu’tamadah) yang dikeluarkan Hizbut Tahrir terdapat dua pasal yang mengatur penerangan (i’lâm) dan alat penerangan umum (wasâ’il al-i’lâm), yaitu pasal 103 dan 104. Pasal 103 menerangkan keberadaan Departemen Penerangan (dâ’irah al-i’lâm) serta tugas pokoknya di dalam dan di luar negeri. Pasal 104 menerangkan bahwa keberadaan suatu media massa tidaklah memerlukan izin (tarkhîs) dari negara; cukup menyampaikan pemberitahuan kepada Departemen Penerangan. Pasal ini juga menerangkan pihak yang harus bertanggung jawab terhadap segala isi media, yaitu pemimpin redaksi.
Dua pasal tersebut jelas masih bersifat global. Sebagai ketentuan dasar dalam Undang-Undang Dasar, bolehlah dua pasal itu dianggap mencukupi. Namun, untuk pengaturan media massa dalam kehidupan sehari-hari yang sangat kompleks, tentu harus ada ketentuan perundang-undangan yang lebih rinci. Di sinilah kitab Syaikh Ziyad Ghazzal menemukan tempatnya. Kitabnya merupakan rancangan undang-undang islami yang digagas untuk merinci lebih lanjut dari dua pasal tersebut.
Rincian Syaikh Ghazzal terwujud dalam 32 pasal yang terdiri dari 2 (dua) bagian: Pertama, pasal 1-19 menjelaskan bagaimana pengaturan media massa dalam negara Khilafah. Kedua, pasal 20-32 menjelaskan tindak pidana yang dilakukan media massa.
Syaikh Ghazzal mendefinisikan pengertian alat penerangan umum (wasâ’il al-i’lâm) sebagai alat-alat untuk menyampaikan sesuatu secara terbuka dan terang-terangan. Alat-alat ini meliputi: stasiun TV baik di bumi maupun di luar angkasa, stasiun radio, terbitan berkala (al-mathbû’ât ad-dawriyah), dan bioskop serta panggung pertunjukan (pasal 1 & 2).
Setiap individu rakyat berhak untuk menyampaikan sesuatu kepada publik melalui alat-alat tersebut. Hak ini diakui syariah berdasarkan dalil-dalil yang mewajibkan atau mensunnahkan menyampaikan sesuatu secara terbuka dan terang-terangan. Banyak dalil dikemukan oleh Syaikh Ghazzal, misalnya tindakan Ibnu Abbas yang secara terang-terangan mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Diceritakan oleh Ikrimah bahwa Ali bin Abi Thalib telah membakar orang-orang zindiq yang murtad sebagai hukuman atas mereka. Berita ini sampai kepada Ibnu Abbas, lalu dia berkata, “Kalau aku, tidak akan membakar mereka, karena ada larangan Rasululah saw., ‘Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah!’ Niscaya aku hanya akan membunuh mereka karena sabda Rasululah saw., ‘Siapa saja yang mengganti agamanya, bunuhlah dia!’” (HR al-Bukhari) (h. 5) (Al-Maliki, 1990: 83).
Hadis ini menunjukkan adanya hak untuk menyampaikan sesuatu kepada publik secara terbuka lewat media massa. Namun, hak ini diatur dengan sejumlah kewajiban dan syarat tertentu. Orang yang mau menerbitkan majalah atau mendirikan stasiun TV dan radio, misalnya, memang tidak disyaratkan meminta izin (tarkhîs) kepada negara, karena izin sudah diperoleh secara langsung dari syariah. Dia hanya diwajibkan menyampaikan pemberitahuan (i’lâm) kepada institusi negara yang terkait. Pemberitahuan ini hanya berupa sejumlah penjelasan yaitu tentang: (1) jenis media massa, alamatnya, dan bahasa yang akan digunakan; (2) nama pemilik media, kewarganegaraan, dan alamatnya; (3) nama pemimpin redaksi, kewarganegaraan dan alamatnya. (pasal 3 & 4). Pemilik media dan pemimpin redaksi ini haruslah warga negara Khilafah. Sebab, kewarganegaraan (tâbi’iyah) itulah yang melahirkan hak dan kewajiban sebagai warga negara, termasuk hak menerbitkan media massa (pasal 5 & 6).
Jika kemudian hak ini disalahgunakan untuk menyebarkan ide batil seperti nasionalisme dan demokrasi, siapa yang bertanggung jawab? Syaikh Ghazzal menerangkan dalam pasal 7, yang bertanggung jawab terhadap seluruh isi media adalah pemimpin redaksi dan wartawan atau penulis artikelnya secara langsung (h. 10). Jadi, wartawan kedudukannya sama dengan warga negara lain. Kalau memang bersalah ia harus diadili dan dihukum. Tidak diistimewakan atau mempunyai privilege tertentu yang membuatnya berbeda dengan warga negara biasa (pasal 9, h. 13). Ini sangat berbeda dengan wartawan Barat, yang sering tidak mau bertanggung jawab dengan dalih “kebebasan pers” atau merasa kebal hukum karena media massa sudah dianggap pilar keempat dalam sistem demokrasi. (Sya’rawi, 1992: 142).
Namun, andaikata pemimpin redaksi atau wartawan suatu media diadili dan dipenjara, tak berarti medianya otomatis dibekukan atau dihentikan. Sebab, media hanya dapat dibekukan atau dihentikan dalam satu keadaan, yaitu jika pemilik media bukan lagi warga negara Khilafah (pasal 12). Pihak yang berhak memberi peringatan, membekukan, atau menghentikan operasional suatu media pun bukanlah pihak penguasa (al-hukkâm), melainkan peradilan saja (pasal 13).
Kantor berita asing (seperti Reuter, AFP) atau perwakilan media asing (seperti perwakilan BBC) harus mendapat izin dari Departemen Dalam Negeri. Departemen ini juga yang berhak membekukan atau mencabut izin suatu kantor berita atau perwakilan media asing (pasal 10). Produk cetak dari luar negeri yang masuk lewat jalur perdagangan seperti majalah atau koran, harus mendapat izin Qadhi Hisbah (pasal 11).
Pada pasal pasal 20-32 Syaikh Ghazzal menjelaskan berbagai tindak pidana yang dilakukan media massa sekaligus kadar sanksinya. Beliau menyadari bahwa pembahasan ini sebenarnya masuk dalam UU Hukum Pidana (al-qânûn al-jinâ’i). Namun, beliau meletakannya dalam RUU Media Massa dengan maksud untuk memberi gambaran yang jelas mengenai kehidupan media massa dalam negara Khilafah. Semua tindak pidana media massa ini masuk kategori ta’zîr, yakni hukuman yang tidak ditentukan kadarnya oleh syariah, kecuali pidana qadzaf (menuduh berzina) yang termasuk dalam kategori hudûd (h. 55).
Beberapa tindak pidana itu adalah melakukan provokasi (tahrîdh) (pasal 22-25), penghinaan (sabb) (pasal 25-27), memfitnah (iftirâ’) dan menuduh berzina (qadzaf) (pasal 28-29), menyebarkan gambar porno atau gambar aktivitas seksual (pasal 30-31), dan menyebarkan berita bohong (pasal 32). Contoh pasalnya: Siapa saja yang di media memprovokasi publik agar tidak taat kepada Khalifah, dipenjara maksimal satu tahun (pasal 24); Siapa saja yang di media menghina tuhan-tuhan atau akidah kaum kafir dzimmi, dipenjara maksimal enam bulan (pasal 27); Siapa saja yang memfitnah di media, misalnya menuduh si Fulan koruptor atau menerima suap, dipenjara maksimal dua tahun, kecuali ada bukti-buktinya (pasal 28); Orang yang menyebarkan gambar porno di media, yaitu gambar (khususnya wanita) yang menampakkan lebih dari wajah dan dua telapak tangannya, dipenjara maksimal dua tahun (pasal 30). (Al-wa’ie, 2008)
Wallahu a’lam bi ash-showab...
Daftar Pustaka
Andreas, Joel. 2004. Nafsu Perang. US: Frank Dorell and AK Press.
Gray, Jerry D. 2011. Art of Deception. Jakarta: Sinergi.
Husaini, Adian. 2002. Penyesatan Opini. Jakarta: Gema Insani Press.
http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/03/ruu-pers-negara-khilafah/
http://inagist.com/all/464182857108176896/
http://internasional.kompas.com/read/2014/05/07/1558483/Pengakuan.Mantan.Gundik.yang.Pernah.Mabuk.Bersama.Sultan.Brunei
http://www.wpfc.org/index.php?q=node/12
Posting Komentar